Apa Kabar Unschooling Kami?


Beberapa waktu yang lalu kami, suami dan saya, diundang oleh sebuah komunitas yang terdiri dari orang tua yang ingin menyekolahrumahkan anaknya. Mereka ingin mendengarkan sharing dari kami selaku pelaku homeschooling, lebih tepatnya unschooling.

Sebelum hari-H, saya banyak bertanya pada Sofia mengenai pengalamannya. Bagaimana perasaan-perasaannya selama menjadi anak tidak-sekolah. Siapa tahu bisa kami sampaikan di forum itu. Ada beberapa hal yang dia sampaikan, ada yang positif ada juga negatifnya. Beberapa membuat saya terkejut.

Saya akan mendahulukan cerita negatifnya

Dia pernah merasa enggak pintar. DUER! Saya sedih mendengarnya. Saya ingat dia pernah cerita, dulu waktu dia ikut Taekwondo, dia pernah dikasih tebakan perkalian matematika oleh temannya dan dia nggak bisa jawab dengan cepat. Dia perlu berpikir untuk menghitung. Dia merasa sangat malu. Hiks. Waktu itu saya bilang ke Sofia, “Kamu bilang sama temenmu kalau kamu belum belajar itu. Nggak adil kan membandingkan mereka yang belum belajar dengan mereka yang sudah hafal? Mama nggak masalah anaknya nggak hafal perkalian, yang penting anak mama bisa cara berhitung perkalian. Kamu ingat cerita ayah waktu SD disuruh maju ke depan kelas untuk menghafalkan perkalian? Ingat, hafal (perkalian) bukan berarti bisa cara menghitungnya.”

Dulu dia sangat takut matematika, sampai-sampai tabel perkalian yang pernah saya print dia sembunyikan katanya, hahaha.

Tapi tidak dengan sekarang.

Pernah dia bilang ke saya, setelah membaca buku “Math Doesn’t Sucks” dia jadi mau dan tertarik belajar matematika. Dia bilang, “Bukan berarti aku suka matematika, Mah.. Tapi aku ngerti kalau itu perlu gitu lho…”

Betapa leganya hati saya mendengarnya. “Ibarat mama masak sayur asem, kamu mau memakannya, bukan berarti suka banget sayur asem, tapi karena kamu lapar gitu, ya?” kata saya. “Naaa..betul, Mah”, jawabnya kocak.

Karena mau menghadapi ujian paket A bulan Mei ini, sejak 2 bulan yang lalu kami men-drill, berlatih rutin, untuk belajar matematika dan pelajaran lainnya, setiap hari. Mirip sekolah, deh. Kadang ada ketegangan karena kelambanannya memahami rumus atau alur operasi hitungnya. Lalu suatu ketika dia datangi saya di dapur, curhat.

“Mamah, aku tuh bisa paham matematika cuma…aku butuh orang yang sabar ngajarin aku. Karena aku nggak bisa cepet memahaminya. Perlu waktu”.

“Ooo jadi selama ini mama sama ayah nggak sabar ya? Aduh nak…maafkan kami ya…,” Saya peluk dia dengan kesedihan rasa bersalah. Sejak itu, mendampinginya belajar matematika menjadi sangat menyenangkan bagi saya.

Problemnya memang ada pada kami orang tuanya. Bagaimana, ya, otak kami sudah dewasa dan tua, sudah mampu menghitung cepat. Menunggu dia yang lamban mengerjakan soal yang bagi kami mudah sering kali tidak sepadan dengan stok sabar yang kami miliki. Saya bangga, saya bangga anak kami selalu terbuka dengan orang tuanya.

Ohya, sejak membaca buku panduan matematika karangan Danica McKellar yang sudah diterjemahkan oleh Serambi itu, Sofia malah lebih canggih cara menghitungnya. Selain menghitung ngawang (tanpa corat-coret), tekhnik berhitungnya pun lebih asik dan cepat! Subhanallah… Padahal dulu saya suka gemas, kok ngitung gitu aja susah sih? Luama lagi. Astaghfirullah…Saya lupa kalau otaknya belum tersambung sempurna. Maafkan kami ya, Nak…(hiks).

Hanya matematika yang belajarnya kami dampingi karena pelajaran yang lain dia mampu belajar sendiri dan baru kalau ada sesuatu yang tidak dia pahami dia akan datang pada kami untuk bertanya.

Tidak hanya matematika, kami selalu menitik-beratkan padanya untuk memahami teori maupun soal yang sedang dipelajari. Dia harus paham cara menghitungnya, paham penggunakan rumusnya dan bukan hanya sekedar hafalan. Karena bagi kami yang penting dia sudah mempelajari dengan baik dan benar, perkara waktu mengerjakan soal ujian kelak dia lupa, itu kami serahkan pada Tuhan.

Kami tekankan padanya pentingnya berdoa karena dia sudah berikhtiar (belajar dengan sungguh-sungguh), supaya Allah merahmatinya dengan daya ingat yang bermanfaat. Sungguh, berapapun nilai yang ia dapat kelak kami akan menerima dengan lapang dada. Itu janji kami sejak dulu.

Cerita di bawah ini entah negatif atau positif

Sebelum mulai belajar untuk persiapan ujian Paket A, Sofia baru saja masuk kelas mengaji sore di madrasah Ma’arif di dekat sini. Orang bilang sekolah agama. Di sana dia belajar akidah, bahasa Arab, sejarah, kaligrafi (khat), dll. Inilah kegiatan mirip sekolah yang rutin dia ikuti saat ini. Bedanya kelas mengaji tidak seragam, hanya rok panjang dan berjilbab. Kalau cowok pakai sarung dan kopyah.

Saat makan malam, Sofia tanpa rasa takut laporan kalau ulangan di madrasah hari ini dapat nilai paling rendah. Tak masalah, nak. Jauh hari kami bilang sama dia, kalau kamu nggak lulus tes kenaikan kelas sekali pun kami tak apa. Karena apa? Ya karena dia masuk madrasah sore dari kelas 3 tidak dari awal tahun ajaran, melainkan 4 bulan sebelum kenaikan ke kelas 4. Malah kami anggap wajar kalau dia nggak naik kelas. Yang penting adalah dia sudah belajar.

Namun ada hal yang menarik, dia bilang dia menjawab dengan benar beberapa soal. Lucunya, SELURUH teman-temannya justru salah menjawab soal-soal itu. Kami kaget, kok bisa? Dia pun menjawab dengan enteng. “Lha memang gampang kok, tinggal pakai logika.”

Jadi?!

Ini kami rasa semacam sebuah bukti bahwa anak-anak sekolah pada umumnya mengandalkan hafalan! Saya rasa soal ujian sekolah lainnya juga seperti itu, terlalu menekankan hapalan. Logika berpikirnya terabaikan. Pantas saja bukan? Begitu banyak teori pendidikan karakter dijejalkan tapi hanya sedikit yang dapat menyubang perbaikan karakter anak Indonesia, kan? Tentu kami bangga pada anak kami dengan kemampuan berpikirnya. Tapi di sisi lain sungguh kami sangat sedih. Sedih. Iya, sedih dengan keadaan pendidikan seperti itu.

Sisi positifnya

Sofia bilang, pada suatu masa sekitar usia 9 tahun dia sudah merasa cukup bermain. Dia merasa sudah waktunya belajar. Apalagi melihat teman-temannya yang sekolah mendapat beban pelajaran sedemikian rupa. Saya kaget dengar pengakuan dia ini.

Dari sini kami menyimpulkan bahwa artinya masa kanak-kanaknya yang identik dengan naluri bermainnya tercukupi. Selesai.

Walau pun dia masih kami anggap anak-anak (menjelang baligh sih), namun sifat kekanak-kanakannya sudah pudar. Kedewasaan cara berpikirnya sudah tampak. Hal itu diamini oleh keluarga besar kami.

Suatu hari, kami sekeluarga nongkrong di pinggir jalan utama kota Jepara. Kami membeli kopi dan teh sebagai teman menikmati sore yang cerah itu. Di sepanjang trotoar yang sedang hits di Jepara -karena baru jadi, indah dan rapi- banyak sekali anak-anak remaja nongkrong dengan teman-teman sebayanya. Bisa dibilang mereka semua datang dengan motor. bahkan ada yang merokok! Sedangkan kami jalan kaki karena kendaraan kami parkir di alun-alun kota yang berjarak +/- 300 meter.

Saya bilang pada Sofia, “Lihat tuh, yang nongkrong sekeluarga cuma kita”. “Iya ya, Mah”. Lalu kami terdiam. Tiba-tiba Sofia bersuara, “Aku tuh baru paham, ternyata tujuan lain homeschooling itu juga untuk mendekatkan anak dengan ortunya ya, Mah?” “Lha memang dulu menurutmu gimana?” “Aku kira cuma cara lain pendidikan aja.”

Mendengar hal itu saya sangat terharu. Begitu pula ayahnya. Bangga rasanya anak kami mempunyai pemahaman yang datang dari kesadarannya sendiri.

Saya juga sering bilang ke Sofia, ketika melihat anak-anak remaja war wer naik motor kesana kemari rame-rame sama teman-temannya alias sibuk mejeng. Kalau mereka mempunyai cita-cita mereka tidak akan sempat melakukan itu. Mereka akan sibuk belajar atau melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk menggapai cita-citanya. Mereka adalah anak-anak yang bosan dengan rutinitas di sekolah, mereka butuh kebebasan berekspresi, butuh melepaskan tekanan-tekanan sehari-hari dalam meraih nilai terbaik.

Sekarang hampir memasuki bulan ke-3 Sofia masuk madrasah sore. Banyak hal yang selalu dia ceritakan ke kami. Salah satunya adalah semacam perasaan bangganya. “Ternyata aku bisa, Mah! Aku kira aku nggak sepintar teman-temanku (yang sekolah). Mereka malah bingung kok aku nggak sekolah tapi kok pintar.” Dia bercerita dengan mimik sumringah. “Lha iya, kan.. Jadi kamu sekarang lebih percaya diri dong…?” Goda saya. “Iya…” jawabnya dengan wajah makin berbinar.

Di samping itu adalagi hal-hal positif lain yang kami dapat dari kegiatan unschooling selama ini.

Sebagai anak usia 12 tahun yang belum datang bulan, tingginya kini sudah menyamai mamanya di angka 165cm!
Bagaimana itu bisa terjadi? Menurut kami tidak hanya faktor genetik dan gizi makanan, tapi juga karena dia mendapat istirahat yang cukup terutama waktu tidur. Ayahnya memang tinggi. Makanan kami sama saja dengan orang lain, lebih sering tempe dan tahu, meski selalu saya jaga sayur+protein terpenuhi. Seperti yang kita ketahui, pertumbuhan fisik anak-anak itu terjadi ketika mereka tidur. Jadi kalau orang tua merasa pola makan anaknya bagus dengan asupan gizi yang baik tapi tetap pendek (stunting), bisa jadi ada yang merampas hak tidurnya.

Ada satu bukti lagi, teman saya yang memutuskan menghomeschoolingkan anaknya setelah selesai kelas 3 SD mendapati fakta yang menarik, pertumbuhan tinggi badan anaknya tiba-tiba sangat pesat. Orang tua teman-teman sekelasnya dulu sampai kaget. Dulu tingginya di bawah anaknya tapi sekarang jauh lebih tinggi.

Sementara untuk menghadapi ujian paket A, salah satu cara kami mempersiapkan bekal anak adalah dengan latihan soal Ujian Nasional tahun-tahun sebelumnya. Kami menemukan soal-soal tiga tahun sebelumnya, dari 2015-2017.

Yang mengagetkan, saat menjawab soal UN mata pelajaran Bahasa Indonesia, setelah saya koreksi, Sofia hanya salah 10 dari 50 soal! Padahal dia belum pernah belajar khusus teori Bahasa Indonesia. Kebanyakan yang salah terkait teori yang belum dia pelajari seperti sinonim, antonim, jenis-jenis paragraf, dll. Dari tidak paham itu akhirnya dia paham teori. Perlu diketahui Sofia anaknya pelahap bacaan. Pengalaman mengerjakan soal ini membuat kami lebih percaya diri dengan kemampuan anak kami.

Sharing di Komunitas

Usai kami berbagi di komunitas yang sudah kami sebutkan diatas, di rumah saya berbicara sendiri tapi didengar Sofia karena dia ada bersama saya di dapur.

“Lha iya tho, mereka (para orang tua) itu sebenarnya sudah mempunyai pengetahuan yang lebih cukup dibanding kami dulu ketika hendak memulai unschooling, tapi mereka itu nggak berani. Padahal mereka mengeluh beban anak-anak di sekolahnya terlalu berat.”

“Dulu mama sama ayah kok nggak ada takutnya ya? Kita soalnya kalo sudah yakin ya dilakukan, nggak suka niru-niru orang lain soalnya”.

Apa coba jawaban Sofia? Dia bilang, ”Mungkin karena dulu mama sama ayah takut sama dunia di luar.”

OMG anak ini analisanya tepat sekali. Sepertinya memang itu alasan yang tepat kenapa kami tanpa ragu balik kanan jalan langsung tidak sekolah (unschooling).

Waktu sharing kami bercerita alasan kami melakukan pendidikan di rumah:

Dari suami:

  1. Dapat email dari teman berisi info cara mendapat ijazah jika anak hendak kuliah, yaitu ujian Cambridge. Yang mana ijasahnya bisa digunakan kuliah di banyak negara di dunia.
  2. Sekolah itu buang-buang waktu, energi, juga biaya.
  3. Tujuan sekolah sendiri itu apa? Kalau alasannya ijasah, sedangkan untuk dapat ijasah bisa dengan ujian cambridge atau Paket A. Apalagi syaratnya relatif mudah dipenuhi.

Dari saya:

  1. Ketika punya anak perempuan dengan melihat dunia luar seperti itu, saya sebagai ibu sangat was-was.
  2. Sejalan dengan ilmu parenting yang kami pelajari, saya jadi tahu bagaimana cara membesarkan putri kami dengan lebih manusiawi. Didukung ide tidak sekolah yang cocok untuk menerapkan ilmu parenting yang kami pelajari.
  3. Dunia sekolah yang trennya diamini hampir seluruh sekolahan bahwa untuk masuk SD harus bisa calistung, padahal tidak sesuai dengan perkembangn kognitif anak.
  4. Pergaulan dunia luar yang di luar kendali kami. Buktinya saat TK B anak saya diancam teman laki-lakinya nggak akan mau temenan lagi kalau dia nggak mau dicium! Sedangkan di madrasah ini, baru hari pertama sudah ada teman perempuan sekelasnya yang mengancam Sofia agar tidak “merebut” si A karena dia pacarnya. Gila nggak tuh? Duh saya lupa menyampaikan ini.

Pada kesimpulannya kami memang takut dengan dunia di luar sana. Kami belum berani melepaskan putri kecil kami ke dunia semacam itu. Tapi kini putri kami sudah tumbuh dengan bekal prinsip dan karakter baik yang mampu ia pegang dan pertahankan. Dia sudah berani bilang TIDAK. Dia sudah tahu mana yang boleh, baik, benar dan mana yang tidak boleh, juga menolak yang buruk dan salah.

Kami siap melepaskan anak kami melesat dari busurnya. Kami mendoakanmu selalu putriku… (elap mata)

 

*Mengenai alasan kenapa kami mengikuti Ujian Paket A dan memasukkannya ke madrasah sore insyallah akan saya tulis di post tersendiri*

Disunting oleh AW

, ,

Tinggalkan Balasan